Halaman

Senin, 27 Juni 2011

 Tanya ku buat mu Teman...!!!!


Cara mu mengakihiri kisah ini benar-benar hebat teman
Apa sebenarnya yang kau pikirkan sekarang….
Begitu sulitkah meninggal kan semua ini,
sampai harus benar-benar melenyapkan apa yang telah kau jalani bersama kami

atau….

Kau memang tak pernah menganggap kami ada…
Seperti figura..yang sekedar menempel di dinding kamar mu
Ketika waktu mu tak lagi banyak,
Ketika figura semakin usang…
Kau semakin tak berminat…
Lalu melepaskannya
Dan membuang nya begitu saja…

Ah…..
Benar aku tak paham apa yang kau pikirkan….
Suatu saat, aku ingin kau menjawab….
Apa sebenarnya arti kami bagimu….
“JAMPI-JAMPI AIR”

Matahari dengan angkuhnya di atas langit sana memancarkan semburat jingga berhawa panas yang menyesap ke tiap-tiap pori-pori kulitku, seakan melengkapi penderitaanku menyusuri jalan setapak yang berbatu dan berdebu. Kerongkongan ku terasa mencekik, perih tak tertahankan ketika kurasakan bulu-bulu hidungku tak mampu lagi menyaring debu-debu yang terlalu banyak masuk bersama udara yang ku hirup. Puff….inilah kesalahan terbesar umat manusia, menutupi satu lubang untuk menciptakan lubang yang lain. Berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan menebang pepohonan yang ada dan menggantinya dengan lautan gedung-gedung kokoh nan sombong, menyebabkan udara tak lagi bersahabat….lalu siapa yang akan merasakan imbas itu sendiri kecuali manusia. Dan kini aku tengah menikmati dampak kebodohan itu.

10 menit kemudian, aku telah sampai di depan sebuah bangunan rumah tua yang  mungkin sudah ada sejak 58 tahun yang lalu, menjadi saksi bisu perubahan alam. Pekarangan rumah ini sangat luas, hampir setiap sudut ditumbuhi pepohonan, rumput jepang tersebar bak permadani raja mengitari rumah. Suasana tampak lengang, padahal baru pukul 2 siang, hanya tampak seorang lelaki setengah baya yang menggendong bocah yang ku taksir berusia 10 tahun sedang menuggu di ruang tunggu. Bocah itu memandang ku dengan tatapan takut-takut, rambutnya yang ikal di kepang dua bergoyang-goyang ketika ia meronta ingin melepaskan pelukan sang kakek. 
“Ica gak mau di sini, Ica mo pulang saja kek!” rontanya lagi.  “Nanti ya, kita tunggu eyang Brojo ketemu Ica dulu, ya”…pujuk sang kakek. 
Aku berjalan melewati kakek dan cucu itu, ku balas senyuman sang kakek sebelum menarik handel pintu. Aku memandang sekitar, tampak lengang seperti sebulan yang lalu ketika terakhir aku nengunjungi kediaman eyang ku ini, tampaknya tante Irma dan ponakan ku Ega yang selama ini menemani eyang sejak pendamping hidup eyang tiada belum pulang dari rumah mertuanya. 
Eyang biasa dikenal dengan sebutan Eyang Brojo, banyak orang datang menemuinya untuk memohon kesembuhan darinya. Ruang praktek tepat di sebelah pintu, yang hanya di batasi sebidang triplek dan sebuah pintu sederhana yang menghubungkan dengan ruang dalam. Sebenarnya lebih tepat di sebut ruang tamu, karena eyang tak pernah merasa dirinya seorang dukun atau apapun sebutan lain sejenisnya, baginya orang yang datang bukanlah pasien yang berharap kesembuhan darinya, tapi hanya tamu yang bertandang ke rumah hanya untuk berbagi masalah dengan nya, karena kesembuhan tetap lah hanya Allah S.WT. yang memiliki kekuasaan penuh.  Aku  melongok ke pintu yang terbuka lebar. Tepat saat itu, eyang tengah menoleh kearah ku, aku tersenyum tipis, eyang hanya mengangguk membalas senyumanku, di sebelahnya tampak seorang ibu yang masih muda menggendong bayi. Aku berlalu ke belakang, kulihat kursi goyang tua miik eyang di beranda belakang yang menghadap ke halaman belakang masih tak bergeming walaupun angin menyapanya lembut, di depan nya tampak kolam ikan yang tak pernah luput dari perhatian eyang sesibuk apapun beliau. Gemericik air yang  keluar dari mulut sebuah patung ikan di tengah kolam menambah keasrian pekarangan ini. 
Inilah rumah tua eyang Brojo, eyang ku yang begitu mencitai alam. Rumah yang dikelilingi pekarangan dengan luas ± 900 ha ini memberikan kenyaman tersendiri di antara  berpuluh-puluh gedung yang hampir memenuhi lingkungan sekitar. Puluhan orang telah sering mendatangi eyang untuk membeli tanah ini dengan harga yang mungkin akan dapat di nikmati 7 keturunan eyang, tetapi eyang selalu menggeleng dengan  senyum.khas yang tak pernah lepas dari bibirnya. 
“Lingkungan boleh berubah, dunia pun boleh berubah tapi tanah ini takkan pernah berubah selama nafas masih berada di dalam tubuh eyang” penjelasan yang sederhana, namun syarat ketegasan itu ku dengar ketika pernah ku tanyakan mengapa tak mau menjual tanah ini.

                “ayo, sini gak papa…gak di apa-apain ya…nanti, eyang kasih coklat, Ica suka coklat kan?” aku tersentak berbalik mencari sumber suara. Ternyata aku sudah terlalu lama bermain dengan pikiran ku sendiri sehingga tanpa ku sadari aku telah berada di teras belakang ini, tepat di sebelah kursi goyang eyang begitu lama sampai suara yang tak lain adalah suara eyang mengembalikan ku kealam  nyata. ku lihat eyang sedang membujuk bocah yang tadi ku temui di luar. Bocah itu tampak takut-takut masuk ke dalam ruangan, eyang dan kakek bocah kecil itu tengah sibuk membujuknya.
 “ya, udah kalo gak mau di dalam, di sini aja, ya” eyang berjalan menuju karpet yang berada ditengah ruangan, biasanya Ega ponakanku suka berbaring di karpet ini sambil menonton acara TV hingga tertidur. Tempat ini memang paling nyaman dari seluruh ruangan di rumah ini karena langsung berhadapan dengan teras belakang. Bocah itu tampak ragu-ragu, tapi wajah takut mulai sirna dari matanya. Mungkin baginya ruangan praktek eyang sama seperti ruang praktek dokter yan penuh dengan obat-obatan dan jarum suntik.
 “Ayo sini” eyang mulai membujuk lagi. Bocah cilik itu mulai melangkah perlahan mendekati eyang dengan tangan masih ditautkan ke pergelangan tangan kakeknya. 
“Perutnya di periksa dulu ya, gak papa sebentar saja, gak sakit” ujar eyang ketika bocah itu telah berada disebelah eyang. Ia mengganguk, keraguan telah hilang diwajahnya. Aku mencermati tingkah laku eyang. Ia menyingkap baju si bocah dan menyelipkan tangan kanan nya tamapaknya mencari pusar sibocah, kemudian menempelkan ibu jarinya ke pusar sibocah seperti berusaha meneliti sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia terseyum pada si bocah dan kakeknya 
“gak papa ini, cuma sakit perut biasa” eyang mengelus pipi si bocah yang montok menggemaskan. Tak lama eyang berjalan ke dalam mengambil seteko air minum, menghadapkan gelas ke bibirnya dan menggumamkan sesuatu lalu memasukkan air tadi ke dalam botol, tak lupa sebuah kertas yang entah apa isinya di masukkan di dalam botol itu. Setelah ritual yang menurut ku aneh dan tak pernah kusetujui ini selesai, eyang kembali pada sibocah dan kakeknya lalu menyerahkan hasil ritual “Jampi-jampi air”nya (menurut istilahku) pada kakek si bocah. 
“diminum tiap pagi bangun tidur dan ketika mau tidur malam ya” ujar eyang pada kakek sibocah. Kakek si bocah menggangguk, berbasa-basi sebentar lalu dengan santun mengucapkan salam perpisahan dan meniggalkan kediaman eyang.

                Aku tertegun melihat pemandangan tadi, aku tak pernah habis pikir mengapa setiap mengobati orang eyang selalu melakukan ritual “Jampi-Jampi Air” yang kemudian diserahkan pada sang pasien. Dengan kemajuan tekhnologi saat ini aku sama sekali tidak setuju bahwa air yang sama sekali tak terkandung komponen tambahan lain mampu memberi efek penyembuhan. Tapi, hampir semua terapi penyembuhan penyakit-penyakit sederhana, eyang hanya memberikan air sebagai media penyembuh dan tentunya dengan sedikit jampi-jampinya, bahkan untuk penyakit kronis sekalipun eyang tak pernah meniggalkan ritual “Jampi-jampi air” nya walupun ia tak pernah lupa meminta pasien untuk tetap berkonsultasi pada kalangan medis dan banyak tawakal pada Allah S.W.T. Apa yang hebat dari air, apa bedanya dengan tanah, angin atau api sekalian. Aku benci eyang melakukan “Jampi-jampi air”nya itu…benar-benar benci! Syirik…!!

                “Kenapa kau memandangi eyang begitu rupa Han….?” Eyang berujar. Aku kembali tersadar, ku lihat eyang menatap ku dengan tatapan heran. Aku hanya menghela nafas, berat. Apalagi yang harus ku katakan pada eyang ku ini, aku tak pernah mampu bertanya tentang hal yang satu ini. Hal ini begitu riskan, eyangku adalah orang yang taat beragama, tapi disatu sisi apa bedanya eyang dengan dukun-dukun yang ada, menjampi-jampi sana-sini memohon pertolongan sesuatu kemudian mengatasnamakan Tuhan. Aku mendekati eyang, menatapnya lama. Ku dapati gurat-gurat tua yang hampir memenuhi seluruh wajahnya. Wajah ini tampaknya telah begitu banyak menelan kepahitan dan manisnya dunia, dengan sejuta misteri yang tersimpan di tiap guratannya.
“ada yang ingin kau tanyakan?” Tanya eyang seperti membaca jalan pikiran ku. Aku mengangguk ragu, takut membuat hati yang renta itu terluka. Eyang kembali tersenyum, kali ini memamerkan gigi-gigi yang tampak mulai hitam menyeluruh. 
“lalu, mengapa diam?” aku mengalihkan pandangan ke teras belakang, memandingi gemericik air yang tumpah dari mulut sang ikan ke kolam bak air terjun. Air senyawa yang terdiri dari  dua unsur sederhana, Oksigen dan Hidrogen. Itu yang dikatakan guru kimia ku bulan lalu ketika pertama kali ia mengenalkan pelajaran kimia pada ku. Eyang masih menunggu jawabanku. 
“Mengapa harus air eyang? Apa hebatnya air?” Eyang masih terdiam, menunggu aku melanjutkan  “Dengan tekhnologi yang maju, mengapa eyang masih berkutat dengan “Jampi-jampi Air”, maaf eyang aku merasa eyang begitu mendewakan air, memohon-mohon sesuatu pada air seakan-akan air terlalu hebat dari Tuhan. Lalu apa gunanya selama ini eyang mengatakan  Allah punya kekuatan atas segala hal sementara eyang sendiri memuja air.” 
Aku menjelaskan panjang lebar, memuntahkan segala hal yang telah aku simpan bertahun-tahun.  Untuk beberapa saat eyang hanya diam, tampak memikirkan sesuatu yang sulit untuk ia ungkapkan. 
Eyang  mendesah, memulai berbicara “eyang tidak mengerti harus menjelaskan bagaimana, eyang bukan orang sekolahan yang paham tekhnologi. Namun, satu hal yang harus kau  tau Hanafi, Allah menciptakan segala hal di muka bumi ini dengan segala maksud dan tujuan, begitu juga air.” Eyang terdiam sejenak, kemudian berlalu ke belakang. 
Taklama sebuah kertas bertuliskan ayat suci ia perlihatkan pada ku. “kau tau, eyang tak pernah menduakan Tuhan atau mendewakan Air seperti pernyataan mu, setiap kali eyang membaca jampi-jampi seperti katamu, eyang membaca ayat suci al-Qur’an sambil berdo’a memohon pertolongan kepadaNya. Kertas itu, kertas yang selalu Eyang masukkan kedalam air yang telah eyang bacakan ayat suci. Semua yang ada berawal dari-Nya maka hanya kepada-Nya eyang memohon pertolongan, Allah memberikan penyembuhan pada umat mana saja yang ia kehendaki, melalui perantara eyang dengan media air sebagai salah satu elemen penting kehidupan, unsur penyusun alam semesta dan manusia tentunya dan ingatlah Allah maha tahu yang paling benar nak.”
 Aku terdiam mendengar penjelasan eyang, selama ini aku memang tak pernah mencoba memahami atau sekedar bertanya padanya, sehingga semua menumpuk menjadi sebuah prasangka buruk terhadap nya.
 “Lalu kekuatan apa yang dimiliki air eyang, mengapa harus air sebagai media perantara itu?”aku mengulang petanyaan ku yang belum tertuntaskan oleh eyang. Eyang kembali mendesah, seperti mengeluarkan beban yang berat. 
“Hanafi, untuk hal yang satu itu, Eyang tak mampu menjelaskannya lebih jauh padamu, biar waktu yang menjawab untuk mu, dengan akal dan pikiran yang dapat kau terima”
***
                Aku menatap buku yang ada ditangan ku, terlintas bayangan Nisaa adik bontotku di suatu senja ketika hujan turun dengan lebat. 
“Air hujan jernih ya kak…dengerin dech…irama nya bikin hati nyaman. “ aku pandangi si bontot yang begitu menikmati sore itu. 
“Emang apa hebatnya sich?” ujarku acuh. Ia menoleh pada ku, kemudian berpaling memandangi hujan, menghirup aromanya dalam-dalam. 
“tau gak kak, tadi siang di sekolah guru adek ngajarin soal air, katanya air itu ciptaan Allah yang harus dijaga kelestariannya, air juga sama dengan manusia punya perasaan dan mampu memberikan manfaat besar bagi umat manusia yang mau menjaga dan melestarikannya, kita juga dilihatin gambr-gambar air, cantik-cantik lho kak”.
“gambar air laut, danau ya..? jawabku menyelidik. “Bukan lah kak, memang adek siswa SD apa, buku itu menjelaskan foto-foto kristal air, coba aja di cari kak” Nisaa kemudian menyebutkan judul buku nya. Hampir dua bulan aku mencari buku tersebut, untuk ukuran kota ku  yang kecil ini, memang sulit untuk menemukan berbagai jenis buku secara cepat karena kurangnya toko buku. Hatiku berdebar, kupandangi lagi buku yang kini ada digenggamanku ini dengan takjub, kubuka perlahan berharap segera menemukan jawaban atas segala pertanyaan ku selama ini.

Subhanallah, Maha besar Allah dengan segala karunianya. Seorang peniliti dari jepang telah mampu membuktikan bahwa air mampu menerima atau merespon informasi yang diberikan kepadanya. Air menerima atau merespon informasi yang diterimanya dan mengaplikasikannya dalam bentuk kristal-kristalnya yang berbentuk heksagonal. Air Heksagonal ialah air yang sangat penting bagi kesehatan karena bentuknya. Air ini berperan sebagai anti oksidan dengan mengikat radikal bebas H+ dan OH-. Kaena itu, jika air seperti ini dikonsumsi, boleh jadi akan timbul reaksi didalam tubuh seperti pilek, bersin, batuk, mual dan sering buang air besar ataupun kecil. Reaksi seperti ini wajar karena kemungkinan banyak racun didalam tubuh sehingga air heksagonal membersihkannya. Reaksi seperti ini biasa disebut detox effect atau homoeostatic.  Air yang diberikan respon positif termasuk do’a akan menghasilkan bentuk heksagonal yang indah, sementara air tidak akan membentuk apapun atau malah menjadi kacau bila diberi kata-kata hinaan seperti “kamu bodoh”
                Aku tertegun membaca sepenggal penjelasan dari buku ini, buku ini telah membuka mataku, menghilangkan keraguan, memberikan penjelasan logis bagaimana do’a, pikiran dan kata-kata positif berdampak pada kesehatan. Bagaimana “Jampi-jampi air” eyang mampu memberikan penyembuhan kepada pasiennya, meluluh lantahkan anggapanku selama ini bahwa meminum air bermuatan do’a adalah musyrik.  “Allah menciptakan segala hal di muka bumi ini dengan segala maksud dan tujuan” terngiang kembali kalimat eyang. Air adalah salah satu bukti keagungan dan kebesaran Allah, Allah yang Maha segala Maha, pencipta semesta sekalian alam,  memerintahkan untuk menjaga isi nya dengan maksud dan tujuan demi kesejahteraan manusia, hanya manusia yang berakal dan berbudi luhur yang mampu meresapi maksud dan tujuan itu, hanya mereka yang mencintai Allah akan mampu memahami kekuatan-kekuatan  semesta alam sehingga menciptakan rasa kasih sayang yang tinggi untuk memeliharanya sebagai perwujudan rasa terimakasih kepada Allah S.W.T. Seperti eyang yang selalu mencintai alam sebagi wujud keimanan nya pada Sang pencipta.

Hujan kembali turun, rintik-rintik itu begitu jernih. Menyesap  ke dalam tanah, menciptakan aroma segar yang tak terlukiskan. Aku menengadah, menutup mata, menikmati lantunan irama nyanyian sang hujan, menghirup dalam-dalam aromanya, meresapi kesejukannya hingga masuk ke dalam pori-pori kulitku, menyelipkan sensasi-sensasi kenyamanan yang sulit diungkapkan. Inilah nikmat Allah yang terabaikan akibat fana dunia yang menggiurkan.

“…Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakan mereka tiada juga beriman.” QS. Al-Anbiya ayat 30
*****

“MAKNA CINTA NISAA”
Gubrak....buku-buku di tangan Nisaa berjatuhan. Semburat merah di pipinya tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bah.....siapa yang berani menabrak Nisaa si ban hitam ini, mencari masalah di tengah terik matahari yang membara, di tengah jalanan yang berdebu dan puluhan kendaraan yang saling tak mau memberi jalan, menaikkan adrenalin Nisaa sampai ke ubun-ubun. Nisaa menatap wajah di depannya yang malah cengar-cengir, dengan tatapan benci yang tak tertahankan, muka itu...ergh...memuakkan!!

“kamu lagi, kamu lagi, gak punya mata ya..!!!” bentak Nisaa.. “biasa ja kalee non, gak perlu sewot gitu” seloroh si penabrak dengan santai. “Gila  ya, saban ketemu bikin masalah mlulu..kemaren kepala aku ditimpuk pake bola, sekarang nabrak, mau apa sich, ha!!!” semprot Nisaa sambil menunjuk-nunjuk muka si pelaku yang masih tak bergeming dengan sikap yang sama. “wooo....tahan non, gak perlu segitunya kaleee..” lagi-lagi si pelaku tak bertanggung jawab itu mengolok-ngolok Nisaa. 
Nisaa mendesah, menahan marah, jongkok dan memunguti buku-bukunya, “tak ada gunanya meladeni makhluk aneh ciptaan Tuhan satu ini” gumamnya dalam hati. Nisaa berdiri, memandang lelaki remaja yang mungkin hanya berbeda satu atau dua tahun darinya itu dengan tatapan benci kemudian berlalu.
“Hey....Qudsiah Ainun Nisaa...tunggu!”
sebuah teriakan menghentikan langkahnya, Nisaa menoleh kebelakang. Nisaa melongo untuk beberapa waktu, hampir saja lalat tak berdosa terperangkap di mulutnya jika ia tidak cepat-cepat menutup mulutnya, “bagaimana mungkin makhluk aneh itu menyebut namanya dengan lengkap” si makhluk aneh yang ternyata memiliki wajah yang manis itu berjalan mendekati Nisaa. Nisaa masih terdiam tak percaya. “Nisaa..kok diam sich” . Nisaa kembali terkesiap untuk kesekian kali “dug..dug..dug”bunyi jantung Nisaa, hanya orang rumah yang tau nama itu. Si makhluk aneh kembali memanggil, kali ini lebih keras “Woi, neng Nisaa..! eh, salah dink..becce’, gitu kan ya harus nya panggilan buat gadis bugis kaya kamu “ ia menyeringai tertawa, memamerkan gigi putih bersihnya. Nisaa mengangkat alisnya, menatap si makhluk aneh dengan isyarat meminta penjelasan. Masih dengan seringai tawanya yang menyebalkan ia berujar “ Becce’...becce’, makanya jangan marah-marah mlulu kalo ketemu.” 
Ia lalu menarik tangan Nisaa dari jalan yang semakin ramai dan berdebu, menuju ke taman kota yang terletak tak berapa jauh dari jalan tadi. Nisaa hanya menurut, masih terhipnotis dengan keadaan aneh yang dialaminya ini. Si makhluk aneh yang jika Nisaa lihat dari penampilannya kemungkinan seorang mahasiswa ini mengisyaratkan Nisaa untuk duduk disampingnya, di bawah sebuah pohon rindang beralaskan rumput jepang.


 Ia memandang Nisaa sekilas, kemudian tersenyum seperti mengingat sesuatu. “Eh, ce’ fangngaji* apa kabar? tiba-tiba si makhluk aneh menanyakan kabar orang tua Nisaa. Nisaa senewen, mengomel dalam hati, benar-benar makhluk aneh, bertanya ini itu , seakan ia adalah orang yang telah lama mengenal Nisaa. “woi..becce’, kok diam mlulu sich.” Ujarnya sambil mengacak-ngacak jilbab putih Nisaa. Nisaa melepaskan tangan si makhluk aneh dari kepalanya dengan kasar. “kamu, bingung ya...” ia menatap Nisaa, seakan mulai tersadar kalau Nisaa bingung dengan semua pertanyaan dan pernyataan-pernyataannya. Nisaa berbalik menatapnya, kali ini dengan seksama. Hei, tunggu dulu...Nisaa seakan teringat sesuatu, mata itu...ya, bola mata hitam jernih itu, pernah bertahun-tahun yang lalu, sangat akrab menemani hari-harinya. 
“ingat sepuluh tahun yang lalu...?” tanya nya lagi. “di rumah fuang* yang di kampung, kamu sering nemenin seorang bocah laki-laki memancing ketam* di bawah rumah fuang..kamu pasti teriak hampir menangis ketika capit-capit kecil ketam itu menganga lebar seakan menerkam kamu yang besarnya berkali-kali lipat” ia terkekeh..

Nisaa kembali memandang wajah dihadapannya, wajah itu seakan menyedot Nisaa ke lorong waktu dan melemparkannnya ke masa sepuluh tahun silam, di rumah fuang nya di kampung yang terletak di tepi aliran sungai terbesar di propinsinya, yaitu sungai Batanghari, yang panjangnya 450 km dengan lebar 5000 meter di muaranya. Sungai ini merupakan urat nadi perhubungan utama yang menghubungkan Kotamadya dengan Kabupaten-kabupatennya yang dapat mencapai jauh ke pedalaman seperti perkampungan fuang.  Ketika air mulai surut, biasanya ketam-ketam yang mendiami sekitar aliran sungai akan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Pada saat-saat seperti inilah biasanya akan terdengar suara-suara teriakan-teriakan yang diselingi tawa berderai bocah-bocah berbalut tiupan angin sepoi-sepoi yang melambaikan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi seakan ikut meningkahi ulah bocah-bocah kecil yang sibuk bersorak-sorak meyambut buruan mereka yang baru keluar dari sarangnya. Derap-derap langkah kaki yang saling memburu semakin jelas terdengar di lantai-lantai papan yang berfungsi sebagai jalan perkampungan. Beberapa kepala-kepala kecil melongo-longo ke jalan yang berlubang sambil menjulurkan sebatang lidi yang telah diikatkan seutas tali yang berfungsi untuk mengait capit ketam yang menganga, dan hup..!! 
beberapa bocah telah berhasil menangkap sang ketam yang temgah bernasib malang. Nisaa takjub, jarang sekali ia mendapatkan pemandangan seperti ini, hanya ketika ia berlibur ke kampung fuang seperti saat ini. 
Matanya terus meneliti tingkah-tingkah bocah yang sibuk mencoba melepaskan ikatan tali dari capit ketam, dan sedikit meringis ngeri setiap kali mata ketam-ketam tak berdosa itu seakan melirik benci kearahnya dan memperlihatkan capit-capitnya yang tajam. Tiba-tiba seekor ketam melambai-lambai dengan capit menganga lebar tepat di depan wajah Nisaa, Nisaa reflek terkejut dan tanpa sadar berlari sekuat-kuatnya menyusuri jalan, meninggakan suara derap kakinya yang begitu jelas terdengar dilantai berpapan. Nisaa terus berlari menaiki tangga, terengah-engah memasuki rumah fuang yang berupa rumah panggung besar dengan ruangan bersekat-sekat,  ada ruang tamu pada bagian luar, sedikit masuk ke dalam akan di temui sebuah ruangan sekitar 5 x 5 meter dimana fuang menemapatkan 4 buah drum besar dan 5 buah drum ukuran sedang sebagai tempat penampungan air hujan, persediaan untuk air kebutuhan sehari-hari. Fuang dan masyarakat setempat yang mendiami pinggir-pinggir sungai dan laut seperti ini, sangat kesulitan air bersih, air yang dikonsumsi hanya mengandalkan air hujan semata. Ruangan ini diapit oleh ruang tamu dan ruang dapur yang berbagi pula dengan 2 buah kamar. Kamar fuang dan kamar yang biasa keluarga Nisaa ataupun sepupu-sepupunya tempati ketika mengunjungi fuang. Nisaa berhenti berlari tepat di depan ruangan penyimpanan air, masih dengan nafas yang memburu ia duduk diantara dua buah drum besar, hawa dingin langsung menyergap, Nisaa menyandarkan kepalanya ke salah satu drum berusaha mengatur nafasnya. Beberapa detik kemudian seorang bocah laki-laki yang sedari tadi ikut berlari mengejar Nisaa, berhenti di depan Nisaa dengan nafas yang terengah-engah pula, ia menoleh kearah Nisaa sebentar kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, mulutnya seakan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tak mampu bersaing dengan nafasnya yang masih tak beraturan, ia akhirnya memilih duduk disamping Nisaa, ikut mengatur nafas. Nisaa menggeser sedikit, nafasnya telah teratur kini. sana..Nisaa benci dengan orang iseng!” Nisaa berusaha mendorong bocah laki-laki di sampingnya. Si bocah hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng, masih berusaha mengatur nafasnya. Nisaa terdiam, masih kesal dengan perlakuan Ari, bocah yang tak lain adalah sepupu jauhnya itu. Rumahnya berada tepat di samping rumah fuang. Selama Nisaa berlibur ke rumah fuangnya, ia yang selalu menemani Nisaa bermain, maklum Nisaa hanya kemari ketika libur sekolah, sehingga tak banyak teman yang ia kenal di kampung ini, Nisaa sendiri tinggal bersama ayah dan ibunya di kota. Si bocah kembali menatap Nisaa, terkekeh mendapati muka Nisaa yang masih di tekuk. “Sampai kapan kau akan takut dengan ketam-ketam kecil itu ha…?! Padahal kau paling lahap setiap makan kepiting berukuran besar !” ia kembali menyeringai. Nisaa hanya terdiam. Seakan mengerti kekesalan Nisaa, si bocah berdiri dan mengulurkan tangan kearah Nisaa “ayolah, aku hanya bercanda, tak baik marah begitu lama dengan saudara sendiri” Nisaa menengadah, menatap bocah didepannya, bola matanya yang hitam jernih itu mengerling jenaka ke arah Nisaa. Nisaa mengalah, “Baikah, tapi jangan ulangi yang tadi, Nisaa ngeri melihat capit-capit kecil itu menganga lebar seakan-akan ingin melumat Nisaa!” ia kembali terkekeh..”Iya, becce’, abang Ari janji!” mengangkat tangannya membentuk simbol victory. Nisaa tersenyum tanda perdamaian, Ari mengulurkan tangannya pada Nisaa, Nisaa menggapai tangan Ari kemudian mereka beriringan keluar rumah menghabiskan sore yang indah dengan kembali mencari ketam, menyondong untuk mendapatkan udang dan ikan, atau sekedar bermain di atas pompong nelayan yang kebetulan merapat, hingga gelap menyelimuti kampung.

 Suatu hari ketika Nisaa akan kembali ke kota, Nisaa dan Ari  duduk di pelabuhan, matahari saat itu sudah hampir tenggelam, pendar-pendar jingganya memantul ke air sungai yang berombak-ombak ditiup angin. Burung-burung kembali ke sarangnya, sekelompok walet melintas di atas kepala Nisaa dan Ari, setelah seharian melanglang buana mencari makan untuk kembali ke sarangnya melepas lelah dan mengendorkan urat sayap-sayap kecilnya. Nisaa tertegun, selain Ari pemandangan inilah yang sealu membuatnya berat meniggalkan kampung ini. Angin melambai-lambaikan rambut Nisaa yang hitam legam, Ari disampingnya tengah menengadah memperhatikan kawanan Wallet. “Becce’ coba lihat walet-walet itu, sejauh apapun mereka pergi mencari makan, melintasi hutan, sungai bahkan lautan mereka takkan pernah lupa untuk pulang, seperti aku, kelak aku akan meniggalkan kampung ini menjelajahi bagian bumi yang lain, memenuhi ruang jiwaku dengan Ilmu dan berjuta nikmat Tuhan yang lain sambil memupuk segudang rindu pada kampung ini, dan pada saatnya nanti aku akan kembali ke sini mengabdikan diriku untuk kampung ini.”  Nisaa menatap Ari, bola mata hitam beningnya seakan menyimpan berjuta harapan yang tak mampu dibaca oleh Nisaa kecil yang lugu. “Nisaa akan balik ke sini lagi libur sekolah semester depan, biar bisa ketemu bang Ari lagi, bang Ari masih maukan main dengan  Nisaa?” Ari tak menjawab, ia hanya mengangguk, ia tengah asyik menatap riak-riak air, Nisaa ragu, tapi menguatkan hatinya, menganggap itu artinya Ari setuju.

            Enam bulan kemudian, Nisaa baru saja melipat baju terakhir yang akan dimasukkan ke koper. Lusa  Nisaa akan pergi ke kampung fuang, Nisaa tak sabar lagi bertemu Ari, hampir tiap hari ia membayangkan bermain bersama Ari lagi. Tiba-tiba Nisaa mendengar suara isak tangis di ruang tengah, Nisaa berlari ke ruang tengah penasaran, jantungnya berdegup kencang. Terlihat Bundanya duduk di sofa, mukanya pucat, ada Ayah disebelahnya berusaha menenangkan Bunda. Nisaa maju perlahan, memandangi Ayah dan Bundanya dengan tatapan tak mengerti. Ayah menarik lengan Nisaa mendekat padanya, Nisaa menurut saja masih dengan kebingungan yang sangat. “Kampung fuang terbakar tadi malam Nisaa”, Ayah mengarahkan pandangannya pada televisi. Nisaa terdiam, seluruh sendi-sendi tulangnnya gemetar, matanya nanar menatap siaran TV daerah, Api melahap hampir sebagian perkampungan, belum diketahui ada korban atau tidak, sampai saat ini masih dilakukan evakuasi. Semua berputar-putar di kepala Nisaa, fuang apa yang dilakukannya sekarang, Ari dimana dia sekarang. Kejam, mengapa harus selalu kampung fuang menjadi korban kemarahan alam akibat ulah manusia yang menebangi hutan, menebar Freon dimana-mana menyebabkan penipisan lapisan ozon yang semakin tak mampu menyaring panas matahari. Matahari memang amat sangat menyegat ketika kemarau tiba, untuk kampung fuang yang hanya dibangun dari berbagai jenis kayu sangat memungkinkan terjadinya kebakaran, sedikit saja memercikkan api sembarangan pada saat kemarau seperti saat ini, akan sangat mugkin menyulut kebakaran yang menghabiskan perkampungan. Nisaa mendesah, sudut matanya mulai menghangat, tak sepatah katapun terucap. Ayah menyentuh bahu Nisaa, “Siapkan segera barangmu Nisaa, besok pagi kita semua akan berangkat ke kampung fuang” Nisaa menggangguk, masih tanpa suara.

            Nisaa menatap dari atas pompong, mengitarkan pandangannya, terpana, yang tampak hanya puing-puing tiang rumah , selain itu tak ada yang tersisa dari rumah fuang, semua telah menjadi abu, tak ada korban jiwa, fuang selamat. Kini fuang tinggal di rumah fuang Rima, adik bungsu fuang, yang Alhamdulillah tidak ikut terlahap api. Namun, hati Nisaa belum tenang, fuang memang telah selamat, tapi dimana Ari, jika tak ada korban jiwa, lalu kemana Ari pergi. Dua hari sudah Nisaa disini, tanpa sekalipun menemukan sosok Ari ataupun keluarganya, Nisaa ragu-ragu menatap fuang yang tampaknnya masih syok, apakah tepat bertanya pada fuang saat ini, Nisaa masih bergulat dalam hatinya ketika fuang menyapanya “Ada apa Nisaa?” tanya fuang seakan mengerti kegelisahan Nisaa. Nisaa mendongak, menatap fuangnya. “mm…fuang, apakah fuang tau dimana bang Ari kini berada, sudah dua hari Nisaa disini tapi Nisaa belum pernah bertemu dengannya sekalipun?” Nisaa memberanikan diri bertanya. “Setelah peristiwa kebakaran malam itu, pagi-pagi sekali keluarga dari sebelah ayahnya, menjemput Ari dan keluarganya. Ari bahkan tak sempat pamitan pada fuang, hanya ayah dan ibunya yang datang berpamitan pada fuang” fuang menerawang, masih terlihat kepedihan dimatanya akibat peristiwa itu. Nisaa lemas, ada bagian hatinya yang terasa begitu sakit, jiwanya kosong. Sudut matanya mulai menghangat lagi. Sejak kejadian itu, Nisaa tak pernah lagi bertemu Ari, tapi Nisaa masih selalu rajin mengunjungi fuang di kampung dan berharap suatu saat Ari akan kembali untuk menepati janjinya dipelabuhan dulu.

“Woi..becce’, malah bengong lagi”, makhluk aneh yang tak lain adalah Ari kembali mengagetkan Nisaa. Nisaa tersadar dari lamunan panjangnya, ia menoleh kearah Ari, mukanya merah menahan malu, mandapati Ari sedang memandanginya. “Bang Ari, ya!” Nisaa menebak. Ari hanya mengangguk sambil tersenyum. Nisaa masih belum bisa percaya pertemuannya dengan Ari terjadi begitu saja, bagaimana tidak sepuluh tahun lamanya Nisaa menunggu, kenangannya akan Ari terus membekas di dalam hatinya, menumbuhkan sesuatu yang aneh dalam dirinya. 
Menurut sebuah artikel yang pernah Nisaa baca, ia tengah mengalami tahapan-tahapan Aliran Kimiawi Cinta. Tahap 1: Terkesan, Pada tahap ini, terjadi kontak antara dua orang melalui alat indera (mata) baik melalui tatapan, berdekatan, berbicara atau yang lainnya, yang telah ia lalui pada masa kanak-kanaknya dulu.  Tahap 2: Ketertarikan, Pada tahap ini otak akan terangsang untuk menghasilkan tiga senyawa cinta, yaitu: Phenyletilamine (PEA), Dopamine dan Nenopinephrine. Senyawa-senyawa ini mengakibatkan rasa tersipu-sipu, malu ketika berpandangan dengan orang yang disukai. Tahap 3: Pengikatan, Pada tahap ini tubuh akan memproduksi senyawa Endropin. Senyawa inilah yang akan menimbulkan perasaan aman, damai, dan tentram. Otak akan memproduksi senyawa ini apabila orang yang kita kasihi berada di dekat kita. Tahap 4: Persekutuan Kimia (Tahap Terakhir), Pada tahap ini senyawa Oxyrocin yang dihasilkan oleh otak kecil mempunyai peranan dalam hal membuat rasa cinta itu menjadi lebih rukun dan mesra antara keduanya. Namun tahap terakhir ini belum sempat Nisaa alami akibat jarak dan waktu yang memisahkan mereka begitu lama., tapi setelah pertemuan ini tak mutahil tahap ini akan ia lalui juga.
            “tuh kan, bengong lagi. Dari dulu gak berubah ya, masih suka bengong!” Ari kembali mengagetkan Nisaa “Bang Ari banyak berubah ya, sampe becce’ gak ngenali lagi?” Nisaa menggeleng. “Kemaren waktu bang Ari nimpuk Becce’ pake bola, beneran gak sengaja, sori belum sempat minta maaf ya. Waktu itu, kaget aja kok bisa ketemu becce’ disini. pas mo ngejelasin, kamu nya malah marah-marah terus ngeloyor. Kalo tadi mah, sengaja ngikutin dari gerbang sekolah kamu, kebetulan kosan abang kan dekat sekolah kamu, trus nabrak kamu, biar ada alasan buat ngobrol dan masti’in kalo kamu memang becce’, He…3x.” Ari tertawa, memamerkan giginya yang putih bersih. “Jadi, kok bisa sampe ke sini?” lanjutnya lagi. “Papa pindah tugas.” Jawab Nisaa singkat. Ari mengangguk, kali ini ia tak tertawa, ia sedang menatap ke langit, sekelompok walet terbang di atas langit sana. Seakan membawanya kembali kemasa 10 tahun yang lalu. “hhmm..bang..” Nisaa ragu. 
Ari menoleh, manaikkan alis nya yang tebal, isyarat agar Nisaa melanjutkan kalimatnya. “Setelah peristiwa 10 tahun yang lalu, abang pindah kemana?” Banyak hal yang ingin ditanyakan Nisaa, tapi semua tersekat ditenggorokannya. Ari mengalihkan pandangannya ke jalan, puluhan kendaraan masih berseliweran disana, meningkatkan kadar karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca di atmosfer, mengikat energi panas matahari dan meyebabkan suhu bumi bertambah, menciptakan puluhan titik api di berbagai tempat, salah satunya di perkampungan tempat tinggalnya dulu. Ari mendesah, mencoba menghilangkan kegalauan hatinya akibat peristiwa 10 tahun yang lalu, yang masih begitu membekas. 
“waktu itu, pagi-pagi sekali keluarga ayah menjemput kami, memaksa pindah. Abang waktu itu berat meninggalkan kampung, tapi abang ingat, ada hal yang harus abang kejar, menjelajahi bagian bumi yang lain, memenuhi ruang jiwa abang dengan Ilmu dan berjuta nikmat Tuhan yang lain sambil menumpuk segudang rindu pada kampung halaman, dan pada saatnya nanti abang akan kembali mengabdikan diri untuk kampung halaman tercinta” Ari mengingatkan Nisaa akan janjinya 10 tahun yang lalu. “Apa ruang jiwa itu belum penuh? Apa segudang rindu itu belum memuncak?” Ari menggeleng “Belum, jalan abang masih sangat panjang becce’, mimpi-mimpi itu masih belum tergapai, dan abang akan terus mengejarnya sampai saatnya tiba untuk kembali.” 
“Pasti masih sangat lama ya?” , “Masih…masih terlalu panjang” jawab Ari singkat.
“lalu mengapa tak pernah memberi kabar pada Nisaa?” Ari tersentak, menoleh kearah Nisaa, ada sebuncah kesal dari kalimatnya. Jilbab Nisaa berkibar-kibar tertiup angin, matanya tajam menatap Ari. “Abang suka becce’ pake jilbab, manis, dan semoga syariat-syariat yang ain dijalankan juga ya, Nisaa masih ingat mengapa abang selalu memanggil Nisaa becce’? Nisaa mengangguk, itu panggilan kesayangan Ari buatnya.
“Abang memanggil Nisaa becce’, karena Nisaa adik perempuan abang satu-satunya dan sampai hari ini abang tak pernah lupa panggilan itukan, itu tandanya abang tidak pernah melupakan Nisaa walaupun 10 tahun telah berlalu, Abang tak pernah menghubungimu karena ingin menupuk segudang rindu untuk mu, seperti segudang rindu pada kampung halaman kita, dan abang ingin membuktikan bahwa kasih sayang persaudaraan antara kita tak akan pernah pudar, walau terpisah jarak dan waktu. Dan abang berhasil membuktikannya kan?” Ari mengerling pada Nisaa, seutas senyum terukir di bibirnya. 
“Buktinya, Nisaa marah abang tidak pernah memberi kabar, artinya Nisaa masih menyimpan kenangan indah kita dulu, masih menyimpan abang di hati Nisaa” Ari menjawab pertanyaannya sendiri.


 Nisaa memandang saudara sepupunya ini dengan takjub, ternyata Ari juga menyimpan perasaan yang sama dengannya, kenangan masa kanak-kanak sepuluh tahun yang lalu ternyata juga masih membekas di dalam hatinya, bedanya Ari mampu menanggapinya dengan lebih positif bahwa cinta dan kasih sayang diantara mereka sebenarnya bukanlah cinta untuk lawan jenis seperti yang dianggap Nisaa selama ini, tetapi perasaan cinta seseorang kepada saudaranya, seorang adik dan seorang sahabat. Nisaa tersipu malu, Ari telah menyadarkannya akan kesalahannya mamakanai cinta selama ini. “abang benar!” Nisaa mnjawab mantap. 
Ari mengangguk senang, meneruskan kalimatnya “ tapi ada yang harus Nisaa  ingat bahwa semua perasaan cinta, kasih sayang yang kita miliki adalah karunia dari Allah SWT, sehingga sudah sepantasnya porsi paling besar haruslah kita berikan kepada Allah SWT.”  Lagi-lagi Nisaa mengangguk mantap, hatinya lega, Ari telah menjawab kegelisahan hatinya. Nisaa menengadah, langit biru nan luas, sekelompok walet terbang di atas langit sana, mungkin sedang menuju sarangnya, karena sore telah menjelang, Nisaa sadar hidupnya memang masih terlalu panjang, masih banyak mimpi-mimpinya yang belum ia gapai, ia masih harus belajar memaknai segala karunia Allah S.W.T secara tepat dan benar.