Halaman

Senin, 27 Juni 2011

“JAMPI-JAMPI AIR”

Matahari dengan angkuhnya di atas langit sana memancarkan semburat jingga berhawa panas yang menyesap ke tiap-tiap pori-pori kulitku, seakan melengkapi penderitaanku menyusuri jalan setapak yang berbatu dan berdebu. Kerongkongan ku terasa mencekik, perih tak tertahankan ketika kurasakan bulu-bulu hidungku tak mampu lagi menyaring debu-debu yang terlalu banyak masuk bersama udara yang ku hirup. Puff….inilah kesalahan terbesar umat manusia, menutupi satu lubang untuk menciptakan lubang yang lain. Berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan menebang pepohonan yang ada dan menggantinya dengan lautan gedung-gedung kokoh nan sombong, menyebabkan udara tak lagi bersahabat….lalu siapa yang akan merasakan imbas itu sendiri kecuali manusia. Dan kini aku tengah menikmati dampak kebodohan itu.

10 menit kemudian, aku telah sampai di depan sebuah bangunan rumah tua yang  mungkin sudah ada sejak 58 tahun yang lalu, menjadi saksi bisu perubahan alam. Pekarangan rumah ini sangat luas, hampir setiap sudut ditumbuhi pepohonan, rumput jepang tersebar bak permadani raja mengitari rumah. Suasana tampak lengang, padahal baru pukul 2 siang, hanya tampak seorang lelaki setengah baya yang menggendong bocah yang ku taksir berusia 10 tahun sedang menuggu di ruang tunggu. Bocah itu memandang ku dengan tatapan takut-takut, rambutnya yang ikal di kepang dua bergoyang-goyang ketika ia meronta ingin melepaskan pelukan sang kakek. 
“Ica gak mau di sini, Ica mo pulang saja kek!” rontanya lagi.  “Nanti ya, kita tunggu eyang Brojo ketemu Ica dulu, ya”…pujuk sang kakek. 
Aku berjalan melewati kakek dan cucu itu, ku balas senyuman sang kakek sebelum menarik handel pintu. Aku memandang sekitar, tampak lengang seperti sebulan yang lalu ketika terakhir aku nengunjungi kediaman eyang ku ini, tampaknya tante Irma dan ponakan ku Ega yang selama ini menemani eyang sejak pendamping hidup eyang tiada belum pulang dari rumah mertuanya. 
Eyang biasa dikenal dengan sebutan Eyang Brojo, banyak orang datang menemuinya untuk memohon kesembuhan darinya. Ruang praktek tepat di sebelah pintu, yang hanya di batasi sebidang triplek dan sebuah pintu sederhana yang menghubungkan dengan ruang dalam. Sebenarnya lebih tepat di sebut ruang tamu, karena eyang tak pernah merasa dirinya seorang dukun atau apapun sebutan lain sejenisnya, baginya orang yang datang bukanlah pasien yang berharap kesembuhan darinya, tapi hanya tamu yang bertandang ke rumah hanya untuk berbagi masalah dengan nya, karena kesembuhan tetap lah hanya Allah S.WT. yang memiliki kekuasaan penuh.  Aku  melongok ke pintu yang terbuka lebar. Tepat saat itu, eyang tengah menoleh kearah ku, aku tersenyum tipis, eyang hanya mengangguk membalas senyumanku, di sebelahnya tampak seorang ibu yang masih muda menggendong bayi. Aku berlalu ke belakang, kulihat kursi goyang tua miik eyang di beranda belakang yang menghadap ke halaman belakang masih tak bergeming walaupun angin menyapanya lembut, di depan nya tampak kolam ikan yang tak pernah luput dari perhatian eyang sesibuk apapun beliau. Gemericik air yang  keluar dari mulut sebuah patung ikan di tengah kolam menambah keasrian pekarangan ini. 
Inilah rumah tua eyang Brojo, eyang ku yang begitu mencitai alam. Rumah yang dikelilingi pekarangan dengan luas ± 900 ha ini memberikan kenyaman tersendiri di antara  berpuluh-puluh gedung yang hampir memenuhi lingkungan sekitar. Puluhan orang telah sering mendatangi eyang untuk membeli tanah ini dengan harga yang mungkin akan dapat di nikmati 7 keturunan eyang, tetapi eyang selalu menggeleng dengan  senyum.khas yang tak pernah lepas dari bibirnya. 
“Lingkungan boleh berubah, dunia pun boleh berubah tapi tanah ini takkan pernah berubah selama nafas masih berada di dalam tubuh eyang” penjelasan yang sederhana, namun syarat ketegasan itu ku dengar ketika pernah ku tanyakan mengapa tak mau menjual tanah ini.

                “ayo, sini gak papa…gak di apa-apain ya…nanti, eyang kasih coklat, Ica suka coklat kan?” aku tersentak berbalik mencari sumber suara. Ternyata aku sudah terlalu lama bermain dengan pikiran ku sendiri sehingga tanpa ku sadari aku telah berada di teras belakang ini, tepat di sebelah kursi goyang eyang begitu lama sampai suara yang tak lain adalah suara eyang mengembalikan ku kealam  nyata. ku lihat eyang sedang membujuk bocah yang tadi ku temui di luar. Bocah itu tampak takut-takut masuk ke dalam ruangan, eyang dan kakek bocah kecil itu tengah sibuk membujuknya.
 “ya, udah kalo gak mau di dalam, di sini aja, ya” eyang berjalan menuju karpet yang berada ditengah ruangan, biasanya Ega ponakanku suka berbaring di karpet ini sambil menonton acara TV hingga tertidur. Tempat ini memang paling nyaman dari seluruh ruangan di rumah ini karena langsung berhadapan dengan teras belakang. Bocah itu tampak ragu-ragu, tapi wajah takut mulai sirna dari matanya. Mungkin baginya ruangan praktek eyang sama seperti ruang praktek dokter yan penuh dengan obat-obatan dan jarum suntik.
 “Ayo sini” eyang mulai membujuk lagi. Bocah cilik itu mulai melangkah perlahan mendekati eyang dengan tangan masih ditautkan ke pergelangan tangan kakeknya. 
“Perutnya di periksa dulu ya, gak papa sebentar saja, gak sakit” ujar eyang ketika bocah itu telah berada disebelah eyang. Ia mengganguk, keraguan telah hilang diwajahnya. Aku mencermati tingkah laku eyang. Ia menyingkap baju si bocah dan menyelipkan tangan kanan nya tamapaknya mencari pusar sibocah, kemudian menempelkan ibu jarinya ke pusar sibocah seperti berusaha meneliti sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia terseyum pada si bocah dan kakeknya 
“gak papa ini, cuma sakit perut biasa” eyang mengelus pipi si bocah yang montok menggemaskan. Tak lama eyang berjalan ke dalam mengambil seteko air minum, menghadapkan gelas ke bibirnya dan menggumamkan sesuatu lalu memasukkan air tadi ke dalam botol, tak lupa sebuah kertas yang entah apa isinya di masukkan di dalam botol itu. Setelah ritual yang menurut ku aneh dan tak pernah kusetujui ini selesai, eyang kembali pada sibocah dan kakeknya lalu menyerahkan hasil ritual “Jampi-jampi air”nya (menurut istilahku) pada kakek si bocah. 
“diminum tiap pagi bangun tidur dan ketika mau tidur malam ya” ujar eyang pada kakek sibocah. Kakek si bocah menggangguk, berbasa-basi sebentar lalu dengan santun mengucapkan salam perpisahan dan meniggalkan kediaman eyang.

                Aku tertegun melihat pemandangan tadi, aku tak pernah habis pikir mengapa setiap mengobati orang eyang selalu melakukan ritual “Jampi-Jampi Air” yang kemudian diserahkan pada sang pasien. Dengan kemajuan tekhnologi saat ini aku sama sekali tidak setuju bahwa air yang sama sekali tak terkandung komponen tambahan lain mampu memberi efek penyembuhan. Tapi, hampir semua terapi penyembuhan penyakit-penyakit sederhana, eyang hanya memberikan air sebagai media penyembuh dan tentunya dengan sedikit jampi-jampinya, bahkan untuk penyakit kronis sekalipun eyang tak pernah meniggalkan ritual “Jampi-jampi air” nya walupun ia tak pernah lupa meminta pasien untuk tetap berkonsultasi pada kalangan medis dan banyak tawakal pada Allah S.W.T. Apa yang hebat dari air, apa bedanya dengan tanah, angin atau api sekalian. Aku benci eyang melakukan “Jampi-jampi air”nya itu…benar-benar benci! Syirik…!!

                “Kenapa kau memandangi eyang begitu rupa Han….?” Eyang berujar. Aku kembali tersadar, ku lihat eyang menatap ku dengan tatapan heran. Aku hanya menghela nafas, berat. Apalagi yang harus ku katakan pada eyang ku ini, aku tak pernah mampu bertanya tentang hal yang satu ini. Hal ini begitu riskan, eyangku adalah orang yang taat beragama, tapi disatu sisi apa bedanya eyang dengan dukun-dukun yang ada, menjampi-jampi sana-sini memohon pertolongan sesuatu kemudian mengatasnamakan Tuhan. Aku mendekati eyang, menatapnya lama. Ku dapati gurat-gurat tua yang hampir memenuhi seluruh wajahnya. Wajah ini tampaknya telah begitu banyak menelan kepahitan dan manisnya dunia, dengan sejuta misteri yang tersimpan di tiap guratannya.
“ada yang ingin kau tanyakan?” Tanya eyang seperti membaca jalan pikiran ku. Aku mengangguk ragu, takut membuat hati yang renta itu terluka. Eyang kembali tersenyum, kali ini memamerkan gigi-gigi yang tampak mulai hitam menyeluruh. 
“lalu, mengapa diam?” aku mengalihkan pandangan ke teras belakang, memandingi gemericik air yang tumpah dari mulut sang ikan ke kolam bak air terjun. Air senyawa yang terdiri dari  dua unsur sederhana, Oksigen dan Hidrogen. Itu yang dikatakan guru kimia ku bulan lalu ketika pertama kali ia mengenalkan pelajaran kimia pada ku. Eyang masih menunggu jawabanku. 
“Mengapa harus air eyang? Apa hebatnya air?” Eyang masih terdiam, menunggu aku melanjutkan  “Dengan tekhnologi yang maju, mengapa eyang masih berkutat dengan “Jampi-jampi Air”, maaf eyang aku merasa eyang begitu mendewakan air, memohon-mohon sesuatu pada air seakan-akan air terlalu hebat dari Tuhan. Lalu apa gunanya selama ini eyang mengatakan  Allah punya kekuatan atas segala hal sementara eyang sendiri memuja air.” 
Aku menjelaskan panjang lebar, memuntahkan segala hal yang telah aku simpan bertahun-tahun.  Untuk beberapa saat eyang hanya diam, tampak memikirkan sesuatu yang sulit untuk ia ungkapkan. 
Eyang  mendesah, memulai berbicara “eyang tidak mengerti harus menjelaskan bagaimana, eyang bukan orang sekolahan yang paham tekhnologi. Namun, satu hal yang harus kau  tau Hanafi, Allah menciptakan segala hal di muka bumi ini dengan segala maksud dan tujuan, begitu juga air.” Eyang terdiam sejenak, kemudian berlalu ke belakang. 
Taklama sebuah kertas bertuliskan ayat suci ia perlihatkan pada ku. “kau tau, eyang tak pernah menduakan Tuhan atau mendewakan Air seperti pernyataan mu, setiap kali eyang membaca jampi-jampi seperti katamu, eyang membaca ayat suci al-Qur’an sambil berdo’a memohon pertolongan kepadaNya. Kertas itu, kertas yang selalu Eyang masukkan kedalam air yang telah eyang bacakan ayat suci. Semua yang ada berawal dari-Nya maka hanya kepada-Nya eyang memohon pertolongan, Allah memberikan penyembuhan pada umat mana saja yang ia kehendaki, melalui perantara eyang dengan media air sebagai salah satu elemen penting kehidupan, unsur penyusun alam semesta dan manusia tentunya dan ingatlah Allah maha tahu yang paling benar nak.”
 Aku terdiam mendengar penjelasan eyang, selama ini aku memang tak pernah mencoba memahami atau sekedar bertanya padanya, sehingga semua menumpuk menjadi sebuah prasangka buruk terhadap nya.
 “Lalu kekuatan apa yang dimiliki air eyang, mengapa harus air sebagai media perantara itu?”aku mengulang petanyaan ku yang belum tertuntaskan oleh eyang. Eyang kembali mendesah, seperti mengeluarkan beban yang berat. 
“Hanafi, untuk hal yang satu itu, Eyang tak mampu menjelaskannya lebih jauh padamu, biar waktu yang menjawab untuk mu, dengan akal dan pikiran yang dapat kau terima”
***
                Aku menatap buku yang ada ditangan ku, terlintas bayangan Nisaa adik bontotku di suatu senja ketika hujan turun dengan lebat. 
“Air hujan jernih ya kak…dengerin dech…irama nya bikin hati nyaman. “ aku pandangi si bontot yang begitu menikmati sore itu. 
“Emang apa hebatnya sich?” ujarku acuh. Ia menoleh pada ku, kemudian berpaling memandangi hujan, menghirup aromanya dalam-dalam. 
“tau gak kak, tadi siang di sekolah guru adek ngajarin soal air, katanya air itu ciptaan Allah yang harus dijaga kelestariannya, air juga sama dengan manusia punya perasaan dan mampu memberikan manfaat besar bagi umat manusia yang mau menjaga dan melestarikannya, kita juga dilihatin gambr-gambar air, cantik-cantik lho kak”.
“gambar air laut, danau ya..? jawabku menyelidik. “Bukan lah kak, memang adek siswa SD apa, buku itu menjelaskan foto-foto kristal air, coba aja di cari kak” Nisaa kemudian menyebutkan judul buku nya. Hampir dua bulan aku mencari buku tersebut, untuk ukuran kota ku  yang kecil ini, memang sulit untuk menemukan berbagai jenis buku secara cepat karena kurangnya toko buku. Hatiku berdebar, kupandangi lagi buku yang kini ada digenggamanku ini dengan takjub, kubuka perlahan berharap segera menemukan jawaban atas segala pertanyaan ku selama ini.

Subhanallah, Maha besar Allah dengan segala karunianya. Seorang peniliti dari jepang telah mampu membuktikan bahwa air mampu menerima atau merespon informasi yang diberikan kepadanya. Air menerima atau merespon informasi yang diterimanya dan mengaplikasikannya dalam bentuk kristal-kristalnya yang berbentuk heksagonal. Air Heksagonal ialah air yang sangat penting bagi kesehatan karena bentuknya. Air ini berperan sebagai anti oksidan dengan mengikat radikal bebas H+ dan OH-. Kaena itu, jika air seperti ini dikonsumsi, boleh jadi akan timbul reaksi didalam tubuh seperti pilek, bersin, batuk, mual dan sering buang air besar ataupun kecil. Reaksi seperti ini wajar karena kemungkinan banyak racun didalam tubuh sehingga air heksagonal membersihkannya. Reaksi seperti ini biasa disebut detox effect atau homoeostatic.  Air yang diberikan respon positif termasuk do’a akan menghasilkan bentuk heksagonal yang indah, sementara air tidak akan membentuk apapun atau malah menjadi kacau bila diberi kata-kata hinaan seperti “kamu bodoh”
                Aku tertegun membaca sepenggal penjelasan dari buku ini, buku ini telah membuka mataku, menghilangkan keraguan, memberikan penjelasan logis bagaimana do’a, pikiran dan kata-kata positif berdampak pada kesehatan. Bagaimana “Jampi-jampi air” eyang mampu memberikan penyembuhan kepada pasiennya, meluluh lantahkan anggapanku selama ini bahwa meminum air bermuatan do’a adalah musyrik.  “Allah menciptakan segala hal di muka bumi ini dengan segala maksud dan tujuan” terngiang kembali kalimat eyang. Air adalah salah satu bukti keagungan dan kebesaran Allah, Allah yang Maha segala Maha, pencipta semesta sekalian alam,  memerintahkan untuk menjaga isi nya dengan maksud dan tujuan demi kesejahteraan manusia, hanya manusia yang berakal dan berbudi luhur yang mampu meresapi maksud dan tujuan itu, hanya mereka yang mencintai Allah akan mampu memahami kekuatan-kekuatan  semesta alam sehingga menciptakan rasa kasih sayang yang tinggi untuk memeliharanya sebagai perwujudan rasa terimakasih kepada Allah S.W.T. Seperti eyang yang selalu mencintai alam sebagi wujud keimanan nya pada Sang pencipta.

Hujan kembali turun, rintik-rintik itu begitu jernih. Menyesap  ke dalam tanah, menciptakan aroma segar yang tak terlukiskan. Aku menengadah, menutup mata, menikmati lantunan irama nyanyian sang hujan, menghirup dalam-dalam aromanya, meresapi kesejukannya hingga masuk ke dalam pori-pori kulitku, menyelipkan sensasi-sensasi kenyamanan yang sulit diungkapkan. Inilah nikmat Allah yang terabaikan akibat fana dunia yang menggiurkan.

“…Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakan mereka tiada juga beriman.” QS. Al-Anbiya ayat 30
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar