22 Desember 2012
Kepada,
Temanku
Assalamualaikum…
Apa kabar teman??? Apa kau masih ingat
padaku??? Apa kau sehat-sehat saja.. ???
bagaimana dengan kegiatan mu, apa semua lancar-lancar saja.. aghh,
semoga Tuhan selalu melindungi dan melancarkan segala aktivitas mu.
Melalui
surat ini, aku ingin menyampaikan beberapa hal yang dulu tak sempat ku
sampaikan kepadamu.. Bolehkah???
(mungkin saja kau telah memberi izin itu, saat kau membaca surat ini…
hehehe)
Maafkan lah aku teman, atas keegoisan ku di
waktu yang lalu… meninggalkan mu sendirian, melepaskan tanggung jawabku dan
merusak kepercaya’an mu.. aghh, sungguh aku merasa buruk…
Yah,
aku salah..!! membiarkan perasa’an ku
mempermainkan ku begitu lama, membebani dan merengek tentang rasa ku
padamu..
Aku begitu rapuh saat itu, bagaimana hidup
begitu menyakitkan saat itu.. semua tampak gamang, terlalu banyak kehilangan
dan kegagalan yang aku rasa pada saat yang sama, kelelahan, sendirian dan
kebingungan . Ku pikir jujur dan melepaskan diri dari mu adalah cara terbaik
mengurangi beban ku, jujur atas perasa’an yang aku tau pasti hanya sebuah
kesia-sian bagi mu.
Kau tau, penyesalan terbesarku adalah
membiarkan mu tau soal perasa’anku. Sungguh aku benci membebani orang lain
dengan perasa’anku.
Jika
saja saat itu kau membiarkan ku begitu saja, jika saja kau tidak terus memohon
dan membuat ku merasa semakin bersalah… mungkin saat semua membaik, aku akan datang
padamu memohon agar kau sudi membiarkan
aku membantumu, mungkin kau tak akan
pernah mengucapkan hal yang begitu menyakitkan padaku. Taukah kau teman,
ucapanmu adalah hal yang paling ku
takutkan keluar dari mulutmu. Aku
menggigil mendengar ucapanmu.. gemetar ketakutan...
“Bukankah
aku sudah mengingatkan sebelumnya…aku akan merusak segalanya jika terus
bersamamu. Bukan kah aku sudah katakan, aku butuh waktu untuk membiarkan semua
membaik…membiarkan semua kembali pada tempatnya ???? lalu mengapa kau begitu
marah, saat aku tak terkendali???”
Seringkali
pertanya’an ini muncul di benakku… saat aku sendirian… saat waktu membawaku
pada sebuah kenangan…
Tapi sudah lah, semua telah berlalu..
Bukankah
saat itu kau juga sedang tidak dalam kondisi baik, lalu bagaimana mungkin aku
memaksa mu untuk berpikir lebih rasional. Lagipula , ucapanmu telah menamparku
dengan keras, mengembalikan ku pada kesadaran, dimana seharusnya aku berada.
Aku dan semua hal yang ku takutkan adalah masalah yang harus aku atasi sendiri,
bukan dengan duduk meringkuk, menangis sepanjang malam atau terus mengeluh
tanpa sebuah penyelesaian sampai semua semakin berputar dan meghantamku
kepusaran yang paling dalam.
Apa aku membencimu atas perlakuanmu
padaku??? Ku rasa tidak, seperti ucapan
ku dulu, aku tak akan pernah bisa membencimu. Begitu pula harapanku padamu….
Semoga kau tidak membenciku. Mungkin semua tak akan pernah sama lagi, mungkin
kita tak bisa lagi menjadi teman… tapi, paling tidak maafkanlah diriku ini dan
semua kebodohanku….
Ku rasa, tulisan ku ini sudah terlalu
panjang…. Bukankah kau tak suka membaca tulisan yang begitu panjang…. Kau
bilang, terlalu membosankan dan menjemukan… (hahaha… sepertinya kita memang
terlalu banyak berbeda.. seperti katamu…)
***
Jingga melipat
surat yang sudah tampak semakin usang karena seringkali di baca, di remas dan
dirapikan kembali. Kali ini ia melipat surat itu… merapikan nya. Memegangnya
dengan ragu, sebelum akhirnya memutuskan melepaskan pegangannya dan membiarkan
surat itu melayang-layang tertiup angin dan jatuh kedalam air , semakin lama
semakin dalam terserap air dan melunturkan tulisannya.
Jingga
menatap surat itu lama.. hingga air laut tampak menjingga dan membawa surat itu
jauh ntah kemana. Sebuah surat untuk teman yang hanya akan menjadi kalimat yang tak akan
pernah tersampaikan , bukan karena tak ingin, tapi karena sebuah alasan
yang dulu pernah ia ucapkan untuk menjauh dari kehidupannya, untuk tidak
menggangunya lagi. Ia mengusap butiran bening yang mulai berjatuhan di pipinya.
Butuh proses untuk membiarkan semua berjalan baik kembali.. butuh waktu untuk
memutuskan bahwa sebuah kisah telah berakhir atau akan terus berlanjut.
Yah.. mungkin
banyak hal dalam hidup, yang sampai hari ini kita tak pernah tau bagaimana akhirnya, atau berakhir begitu
saja tanpa ada penyelesaian yang benar. Mungkin seringkali penyesalan akan
datang, akibat keangkuhan yang terlalu melindungi harga diri di singgasananya,
sehingga sebuah kisah tak kunjung usai.
Entahlah, Jingga tak pernah
mengerti. Satu hal yang ia tau, bahwa
waktu terus berjalan dan bumi terus berputar. Hidup adalah sebuah pilihan untuk
terus berjalan atau tetap diam dan menikmati kehancuran.
Jingga berdiri
dan melangkah meninggalkan dermaga, ketika sayup-sayup suara azan mulai
terdengar. Yah.. biarkan waktu yang
menjawab kisah kali ini, atas izin Tuhan tentunya.
cerita yg bagus...
BalasHapuspenulis yak??
Hahaha... alhamdulillah kalo iya. sayang nya bukan...
Hapusterimaksih udah singgah dan membaca