Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

Surat, untuk seorang Teman



22 Desember 2012
Kepada,
Temanku


Assalamualaikum…
Apa kabar teman??? Apa kau masih ingat padaku??? Apa kau sehat-sehat saja.. ???  bagaimana dengan kegiatan mu, apa semua lancar-lancar saja.. aghh, semoga Tuhan selalu melindungi dan melancarkan segala aktivitas mu.
Melalui surat ini, aku ingin menyampaikan beberapa hal yang dulu tak sempat ku sampaikan kepadamu.. Bolehkah???  (mungkin saja kau telah memberi izin itu, saat kau membaca surat ini… hehehe)

Maafkan lah aku teman, atas keegoisan ku di waktu yang lalu… meninggalkan mu sendirian, melepaskan tanggung jawabku dan merusak kepercaya’an mu.. aghh, sungguh aku merasa buruk…
Yah, aku salah..!! membiarkan perasa’an ku  mempermainkan ku begitu lama, membebani dan merengek tentang rasa ku padamu.. 

Aku begitu rapuh saat itu, bagaimana hidup begitu menyakitkan saat itu.. semua tampak gamang, terlalu banyak kehilangan dan kegagalan yang aku rasa pada saat yang sama, kelelahan, sendirian dan kebingungan . Ku pikir jujur dan melepaskan diri dari mu adalah cara terbaik mengurangi beban ku, jujur atas perasa’an yang aku tau pasti hanya sebuah kesia-sian bagi mu. 

Kau tau, penyesalan terbesarku adalah membiarkan mu tau soal perasa’anku. Sungguh aku benci membebani orang lain dengan perasa’anku.
Jika saja saat itu kau membiarkan ku begitu saja, jika saja kau tidak terus memohon dan membuat ku merasa semakin bersalah… mungkin saat semua membaik, aku akan datang padamu  memohon agar kau sudi membiarkan aku membantumu, mungkin  kau tak akan pernah mengucapkan hal yang begitu menyakitkan padaku. Taukah kau teman, ucapanmu adalah  hal yang paling ku takutkan keluar  dari mulutmu. Aku menggigil mendengar ucapanmu.. gemetar ketakutan...

“Bukankah aku sudah mengingatkan sebelumnya…aku akan merusak segalanya jika terus bersamamu. Bukan kah aku sudah katakan, aku butuh waktu untuk membiarkan semua membaik…membiarkan semua kembali pada tempatnya ???? lalu mengapa kau begitu marah, saat aku tak terkendali???”
Seringkali pertanya’an ini muncul di benakku… saat aku sendirian… saat waktu membawaku pada sebuah kenangan…

Tapi sudah lah, semua  telah berlalu.. 

Bukankah saat itu kau juga sedang tidak dalam kondisi baik, lalu bagaimana mungkin aku memaksa mu untuk berpikir lebih rasional. Lagipula , ucapanmu telah menamparku dengan keras, mengembalikan ku pada kesadaran, dimana seharusnya aku berada. Aku dan semua hal yang ku takutkan adalah masalah yang harus aku atasi sendiri, bukan dengan duduk meringkuk, menangis sepanjang malam atau terus mengeluh tanpa sebuah penyelesaian sampai semua semakin berputar dan meghantamku kepusaran yang paling dalam.
Apa aku membencimu atas perlakuanmu padaku???  Ku rasa tidak, seperti ucapan ku dulu, aku tak akan pernah bisa membencimu. Begitu pula harapanku padamu…. Semoga kau tidak membenciku. Mungkin semua tak akan pernah sama lagi, mungkin kita tak bisa lagi menjadi teman… tapi, paling tidak maafkanlah diriku ini dan semua kebodohanku….

Ku rasa, tulisan ku ini sudah terlalu panjang…. Bukankah kau tak suka membaca tulisan yang begitu panjang…. Kau bilang, terlalu membosankan dan menjemukan… (hahaha… sepertinya kita memang terlalu banyak berbeda.. seperti katamu…)

***



Jingga melipat surat yang sudah tampak semakin usang karena seringkali di baca, di remas dan dirapikan kembali. Kali ini ia melipat surat itu… merapikan nya. Memegangnya dengan ragu, sebelum akhirnya memutuskan melepaskan pegangannya dan membiarkan surat itu melayang-layang tertiup angin dan jatuh kedalam air , semakin lama semakin dalam terserap air dan melunturkan tulisannya.
               
 Jingga menatap surat itu lama.. hingga air laut tampak menjingga dan membawa surat itu jauh ntah kemana. Sebuah surat untuk teman yang hanya akan menjadi kalimat yang tak akan pernah tersampaikan , bukan karena tak ingin, tapi karena sebuah alasan yang dulu pernah ia ucapkan untuk menjauh dari kehidupannya, untuk tidak menggangunya lagi. Ia mengusap butiran bening yang mulai berjatuhan di pipinya. Butuh proses untuk membiarkan semua berjalan baik kembali.. butuh waktu untuk memutuskan bahwa sebuah kisah telah berakhir atau akan terus berlanjut.

Yah.. mungkin banyak hal dalam hidup, yang sampai hari ini kita tak pernah  tau bagaimana akhirnya, atau berakhir begitu saja tanpa ada penyelesaian yang benar. Mungkin seringkali penyesalan akan datang, akibat keangkuhan yang terlalu melindungi harga diri di singgasananya, sehingga sebuah kisah tak kunjung usai. 
Entahlah, Jingga tak pernah mengerti.  Satu hal yang ia tau, bahwa waktu terus berjalan dan bumi terus berputar. Hidup adalah sebuah pilihan untuk terus berjalan atau tetap diam dan menikmati kehancuran. 

Jingga berdiri dan melangkah meninggalkan dermaga, ketika sayup-sayup suara azan mulai terdengar. Yah.. biarkan waktu yang menjawab kisah kali ini, atas izin Tuhan tentunya.



2 komentar:

  1. cerita yg bagus...
    penulis yak??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... alhamdulillah kalo iya. sayang nya bukan...
      terimaksih udah singgah dan membaca

      Hapus